(Surat cinta persahabatan legendaris di tulis, mencegah halaman kosong sejarah Desember)
Seketika saja negeri berselimut duka lara, penderitaan dan kesedihan hati yang mendalam. Banjir bandang merenggut semua kehidupan yang telah jerih-payah sekian jaman di bangun. Bencana alam di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh adalah musibah besar bangsa.
Sekarang, selain harapan terkabulnya penanganan dengan baik, menuntut negara lebih dari itu. Yakni bila tidak ingin celaka bencana terus menghantui semesta bumi kita, mengingat perubahan iklim dan pemanasan global , maka pelestarian-perlindungan kawasan hutan dipandang teramat penting dilakukan. Dengan akal-akalan demi kemajuan semu, negara jangan sampai justru mensponsori eksploitasi, penggundulan hutan secara permanen.
Sebab tentang tema Desa adalah gunung-gunungnya yang penuh dengan rimbunan hijau pohon. Desa adalah citra yang murni dan alami, pantai, udara sejuk, air jernih dari celah batu-batu besar, kebun, dan hamparan sawah yang terlindungi. Kita akan menikmati kemewahan Desa itu, tanpa garuk-garuk kepala dan berpikir memaksa Desa memberi makan kepada konglomerat-konglomerat korporasi konsesi perusak alam.
***
Ilalang mulai menghijau dan menari seakan gembira menandai musim pancaroba. Matahari lebih banyak malu-malu keluar menyapa hangatkan semesta bumi, hanya kabut tebal yang mulai mendekat, lebih dekat.
Masa peralihan tidak menentu, penuh drama, dan dinamika. Gemericik gerimis terkadang membawa kita pada suasana romantis. Namun perubahan cuaca ekstrem perlu kita waspadai, badai petir, atau tiba-tiba saja hujan deras menimbulkan peristiwa kebencanaan.
Sejarah di penghujung tahun yang paling hangat di memori adalah peristiwa yang merenggut sahabat Presiden Prabowo, Soe Hok Gie, sang demonstran aktivis legendaris, dan penyanjung Lembah Mandalawangi yang mati muda (27 tahun), 16 Desember 1969 di puncak Mahameru.
Berbulan madu dengan keemasan sejarahnya, Gie adalah seorang idealis yang tegas melawan tirani, memandang sesuatu dengan perspektif hitam atau putih, benar atau salah, apatis, jujur atau munafik dan ya atau tidak. Gie tidak pernah abu-abu dan tak mungkin berkelit dengan retorika yang mengambang.
Buku-buku banyak yang dilahapnya, secara terbuka menghujat rezim korup yang anti-demokrasi, Gie juga tak ragu mengutuk rezim yang otoriter dan propagandis murahan. Sebuah sikap yang bisa membuatnya digiring ke penjara, diculik atau dilempar ke laut selatan yang kelam, namun Gie tak pernah takut.