Beranda Berita PDIP: Potongan Komisi Aplikator Ojol ke Pengemudi Seharusnya Tidak Melebihi 10 %

PDIP: Potongan Komisi Aplikator Ojol ke Pengemudi Seharusnya Tidak Melebihi 10 %

Adian mengatakan bahwa fenomena besarnya potongan aplikator ini menunjukkan lemahnya kontrol negara terhadap praktik ekonomi digital yang merugikan pekerja lapangan.

0
ilustrasi/istimewa

Selanjutnya dia membandingnya bisnis yang serupa di negara lain. Dia mengatakan bahwa model bisnis aplikator transportasi daring justru lebih maju karena tidak lagi menggunakan sistem komisi.  Dan sebagai gantinya, pengemudi membayar biaya tetap atau berlangganan setiap bulan kepada aplikator.

“Jadi si driver misalnya membayar pada aplikasi Rp200 ribu tiap bulan, dan aplikator wajib untuk mendistribusikan order pada mereka. Di India dan beberapa negara lain sudah seperti itu,” urainya.

Namun karena sistem itu belum diterapkan di Indonesia, Adian menegaskan bahwa tuntutan maksimal komisi 10 persen harus segera menjadi perhatian pemerintah. Ia juga mendorong agar dilakukan forum-forum diskusi terbuka yang melibatkan Komisi V DPR, asosiasi pengemudi online, dan pihak aplikator.

“Itu yang harusnya perlu pemerintah membuat FGD-FGD dan diskusi-diskusi terbuka, baik dengan komisi V maupun dengan teman-teman driver dan teman-teman aplikator, gitu loh. Tapi kan kita kadang-kadang sulit mencari data ya,” ujar Legislator PDIP ini. 

Lantas dia membeberkan, menurut data yang baru diperoleh dalam sepekan terakhir, biaya operasional per tindakan (cost per action) sebenarnya hanya sekitar Rp204, yang sudah mencakup seluruh biaya layanan aplikasi dan peta digital.

“Sementara di beberapa aplikator yang lain itu, jasa aplikasi sudah dibayarkan terpisah Rp2.000. Nah ini juga harus kita periksa. Dan data-data ini kan baru kita dapatkan 5-6 hari terakhir kan,” ungkapnya. 

“Gua juga kaget gitu loh ketika kita hitung sama-sama segala macem, oh ternyata cost per actionnya itu hanya Rp204 maksimal. Artinya keuntungan aplikasi-aplikasi yang mengambil di atas 20 persen ini gede banget gitu loh. Dan yang lebih menyedihkan uangnya itu sebagian lari ke luar negeri,” sambungnya.

Mengacu data-data itu, Adian kembali menegaskan bahwa tuntutan para pengemudi agar potongan aplikator maksimal 10 persen sebetulnya sangat mungkin dicapai.

“Harus mungkin dong, karena kita bicara by data dan dengan kalkulasi kan, dan kalkulasi dan hitungan dan data-data sore hari ini kan menunjukkan bahwa semua kita di-prank sama aplikator itu. Aplikator-aplikator ini yang bersembunyi di balik data-data yang tidak pernah mereka publish. Jadi siapa yang di-prank? Gue di-prank, DPR kena prank, driver kena, konsumen juga kena. Kita dikibulin gitu loh,” sesalnya. 

Sebagai solusi jangka panjang, Adian yang juga Wasekjen DPP PDIP ini menilai bahwa Undang-Undang Transportasi Online diharapkan bisa memperkuat regulasi dan perlindungan bagi pengemudi online.

“Kita sih lebih berharap pada undang-undang transportasi online-nya ya. Perpres ini kan sementara sampai dikeluarkannya undang-undang transportasi online itu kan, tapi kita sadar bahwa memproduksi sebuah undang-undang itu kan tidak gampang, tidak sederhana, dan biasanya tidak cepat. Terkecuali ada hal lain,”katanya. (RMol)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here