Beranda Internasional COP30 Desak Kerja Sama Selatan-Selatan untuk Majukan Tata Kelola Iklim

COP30 Desak Kerja Sama Selatan-Selatan untuk Majukan Tata Kelola Iklim

Pada konferensi perubahan iklim PBB ke-30, atau COP30, yang sedang berlangsung, para pemimpin dan pakar menyerukan kerja sama Selatan-Selatan yang lebih kuat guna memajukan tata kelola iklim global.

0
istimewa

CARAPANDANG.COM- Pada konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-30, atau COP30, yang sedang berlangsung, yang dibuka di Belem pada Senin (10/11), para pemimpin dan pakar menyerukan kerja sama Selatan-Selatan yang lebih kuat guna memajukan tata kelola iklim global.

"Kita berada di sini, di Belem, di muara Sungai Amazon," ujar Simon Stiell, sekretaris eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), seraya menekankan bahwa sebagaimana sungai tersebut dialiri dan diperkuat oleh lebih dari seribu anak sungai, proses COP harus didukung dengan cara yang sama, didukung oleh berbagai aliran kerja sama internasional.

"COP ini harus menjadi titik awal bagi satu dekade percepatan dan aksi nyata," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres dalam sidang pleno pembukaan KTT Aksi Iklim Para Pemimpin Dunia jelang konferensi tersebut, seraya menambahkan bahwa semua pihak dapat memilih untuk menjadikan Belem sebagai titik balik.

Guterres menyerukan adanya peta jalan yang jelas untuk menggalang 1,3 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp16.698) per tahun bagi negara-negara berkembang hingga 2035.

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengatakan dirinya berharap konferensi ini akan menghindari retorika kosong dan tetap berfokus pada pemenuhan komitmen iklim. Dia mengusulkan pembentukan mekanisme tata kelola dalam kerangka kerja PBB untuk memastikan implementasi yang efektif, termasuk menjajaki sanksi bagi negara-negara yang gagal memenuhi komitmen tersebut.

Sementara itu, ketidakhadiran para pejabat tinggi AS dalam pertemuan COP30 telah menuai kritik.

Presiden Kolombia Gustavo Petro mengatakan, AS yang secara historis merupakan penghasil emisi kumulatif terbesar, memikul tanggung jawab besar atas krisis iklim, namun memilih untuk tidak menjalankan peran yang diharapkan pada saat-saat genting seperti saat ini.

Samuel Spellmann, ekonom politik di Universitas Federal Para, mengatakan kepada Xinhua bahwa sikap AS tidak hanya mencerminkan pilihannya untuk menghindari tanggung jawab, melainkan juga upaya untuk menghalangi kemajuan iklim global.

"Kurangnya langkah nyata dari negara-negara maju justru mendorong negara-negara Global South untuk mempercepat transisi energi yang mandiri dan beragam, sekaligus mencari solusi pembiayaan iklim sendiri," ujar Fernando Romero Wimer, profesor hubungan internasional di Universitas Federal Brasil untuk Integrasi Amerika Latin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here